Penulis:
Ismar Hamid – Aksara
Institute
Diterbitkan oleh Jurnal Difabel
Vol. 3/No. 3/2016 – ISSN 2460-6030 – Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel
(SIGAB)
Abstrak
Pendidikan
inklusi adalah proses untuk membuat semua peserta didik dapat belajar dan
berpartisipasi secara aktif di sekolah mainstream, tanpa ada yang
terdiskriminasi. Assessment ini
untuk melihat persiapan pendidikan inklusi di Kabupaten Bantaeng. Assessement meliputi lingkungan fisik dan sosial, yakni:
sarana dan prasarana, kesiapan guru dan manajemen sekolah, perangkat
pembelajaran, persepsi dari sekolah, masyarakat dan pemerintah. Instrumen yang
digunakan adalah observasi, Focus Group Discussion (FGD) dan Wawancara Informan
Kunci (WIK). Assessement
ini menemukan fakta bahwa Kabupaten Bantaeng masih jauh dari siap untuk
melaksanakan pendidikan inklusi. Kondisi sarana dan prasarana belum aksesibel
untuk berbagai jenis difabel. Belum ada inisiatif dan inovasi sekolah dalam
menangani siswa difabel tertentu. Penanganan siswa difabel dianggap hanya bisa
dilakukan oleh guru khusus. Kurikulum dan
perangkat pembelajaran lainnya pun belum spesifik mengakomodasi kepentingan
difabel. Dalam hal persepsi, baik pihak sekolah, masyarakat maupun pemerintah,
masih mendudukkan Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah eksklusif sebagai
solusi yang paling tepat untuk siswa difabel. Belum ada pemahaman secara luas dan mendalam tentang pendidikan
inklusi. Keinginan
untuk melaksanakan pendidikan inklusi hanya karena adanya tekanan dari beberapa
regulasi dan kebijakan. Kondisi
termaju yang ada hingga saat ini hanya dalam bentuk komitmen untuk melaksanakan
pendidikan inklusi dari pihak-pihak yang terkait langsung, namun belum ada upaya
konkrit.
Kata
Kunci: Pendidikan Inklusi;
Difabel; Diskriminatif; Aksesibel; Kabupaten Bantaeng.
Pendahuluan
Pendidikan
adalah sebuah proses memajukan kebudayaan manusia. Kemajuan budaya tersebut
ditandai dengan peningkatan kualitas hidup manusia (masyarakat), yang berlaku
secara menyeluruh, tidak hanya bagi individu atau golongan tertentu. Tanpa
adanya peningkatan kualitas hidup secara luas, maka pendidikan yang ada tidak
bisa dianggap berhasil. Nilai-nilai yang diajarkan dalam pendidikan tidak akan
berarti apa-apa, jika tidak diwujudkan di dalam kehidupan (Paulo Freire: 2008). Dengan kata lain, pendidikan bertujuan untuk
mengubah realitas yang dihadapi oleh masyarakat ke arah yang lebih baik. Bukan
untuk kepentingan individu atau golongan tertentu yang kemudian membangun
hubungan sosial menindas-ditindas dan menguasai-dikuasai dalam masyarakat.
Akar masalah yang telah menjadi tesis atas sekelumit masalah yang dihadapi
oleh masyarakat dunia hari ini.
Freire
mengatakan bahwa pendidikan adalah untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan
(dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan
sosial budaya (Freire: 2007). Kenyataan menjadi objek pengetahuan, sebagai alat analisa untuk
mengubah kenyataan tersebut.Objek
pengetahuan yang permanen adalah kondisi kehidupan dan kegiatan masyarakat
sehari-hari (Freire: 2008). Pendidikan haruslah menjunjung tinggi keadilan
sosial dan kesetaraan, yang termanifestasikan dalam praktek pendidikan
sehari-hari.
Namun, sekolah
seringkali menunjukkan wajahnya yang ambigu dan paradoks. Di satu sisi, sekolah dilandaskan pada satu
visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang pada
prakteknya justru bertindak otoriter dan anti-demokrasi.
Sekolah
punya slogan “mencerdaskan anak bangsa”, tapi pada prakteknya hanya untuk
anak yang punya modal dan kapital. Sekolah punya visi untuk menjunjung tinggi persamaan derajat dan
anti diskriminasi, tapi pada prakteknya tidak mengakomodasi kelompok-kelompok
tertentu, seperti anak-anak-anak jalanan, suku bangsa minoritas, anak-anak di
pelosok-pelosok desa dan utamanya kaum difabel (M. Agus Nuryatno: 2011). Praktek demikian jelas kontradiktif dengan
tujuan hakiki penyelenggaraan pendidikan.
Kenyataan
menunjukkan bahwa sangat banyak praktek diskriminatif dan berbagai bentuk
ketidakadilan lainnya dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kelompok yang paling
banyak mendapatkan diskriminasi atau pengabaian atas hak-haknya adalah
kelompok difabel, misalnya pengabaian akses atas fasilitas maupun kebutuhan
khusus lainnya.
Sungguh ironis,
karena praktek diskriminatif tersebut terjadi di sekolah, yang seyogyanya
menjadi ruang paling demokratis, tempat berlangsungnya proses memanusiakan
manusia dimulai.
Pendidikan
menjadi semakin eksklusif, jauh dari realitas hidup masyarakat Indonesia.
Pendidikan
dikonstruksi oleh pihak-pihak yang berbeda kepentingan dan realitas hidup
dengan masyarakat Indonesia secara luas. Hal demikian merupakan sebuah keniscayaan karena
masyarakat di berbagai belahan dunia terus digiring memasuki sebuah periode
kehidupan, dimana mereka tidak sanggup lagi mengenali realitas hidupnya, dan
dipaksa menerima segala sesuatu yang bersifat semu yang diciptakan oleh
berbagai kekuatan besar di luar dirinya (Hikmat Budiman: 2012). Kenyataan
demikian menjadi dasar yang sangat meyakinkan untuk mengubah pendidikan
Indonesia yang cenderung eksklusif menjadi inklusif. Pendidikan yang
mengakomodasi kepentingan seluruh anak bangsa tanpa terkecuali. Pendidikan inklusi adalah proses untuk
membuat semua peserta didik, termasuk di dalamnya kelompok yang tereksklusi,
dapat belajar dan berpartisipasi secara efektif dalam sekolah mainstream, tanpa
ada yang terluka dan terdiskriminasi. Pendidikan inklusi sebenarnya merupakan persoalan politik
kultural identitas dan perbedaan (M. Agus Nuryatno: 2011).
Pengesahan
UU No.
8 tahun 2016
menjadi satu kemajuan dalam upaya pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia.
Peraturan tersebut menegaskan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas, yang
sekaligus menjadi penegas untuk pelaksanaan pendidikan inklusi (Pasal 5 ayat
[10]), yaitu: 1) Mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di
semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus; 2)
Mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan; 3)
Mempunyai kesamaan kesempatan sebagai penyelenggara pendidikan yang bermutu
pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan; dan, 4) Mendapatkan
akomodasi yang layak sebagai peserta didik.
Pelaksanaan
pendidikan inklusi merupakan jalan terang untuk menghapuskan praktek-praktek
diskriminasi terhadap kaum difabel. Kabupaten Bantaeng seharusnya tidak akan
menemui kendala dalam melaksanakan pendidikan inklusi, karena ditopang dengan
visi yang senantiasa memprioritaskan kebutuhan masyarakatnya tanpa
diskriminasi.
Seruan
pelaksanaan pendidikan inklusi bukan hal yang baru, seharusnya telah ada progress
pelaksanaannya, minimal dalam hal kesiapan. Penting untuk melakukan assessment tentang
persiapan pendidikan inklusi di Kabupaten Bantaeng. Kesiapan suatu daerah
dalam melaksanakan pendidikan inklusi akan tergantung pada kondisi sekolah,
yang meliputi sarana dan prasarana, sumber daya guru dan manajemen sekolah,
serta kurikulum dan perangkat pembelajaran lainnya. Selain itu, dibutuhkan pula
dukungan masyarakat, komitmen pemerintah dan faktor-faktor lain yang meliputi
lingkungan fisik dan sosial.
A.
Metode dan Lokasi Assessment
Assessment ini dilaksanakan pada bulan Maret–April 2016. Data untuk assessment ini diperoleh
melalui observasi lapangan, Focus Group Discussion (FGD) dan Wawancara
Informan Kunci (WIK).
Observasi
dilakukan dengan durasi 6 hari untuk tiap sekolah yang di-assessment.
Selanjutnya, dilakukan FGD di dua sekolah yang ditetapkan setelah observasi. FGD dibagi dalam 5 kelompok, yakni kelompok
guru, manajemen sekolah, siswa difabel, siswa non-difabel dan orang tua siswa
(difabel dan non-difabel). Beberapa peserta FGD untuk masing-masing kelompok,
kemudian dipilih menjadi infoman kunci, yang selanjutnya diwawancara secara
mendalam. Wawancara mendalam juga dilakukan pada dinas-dinas yang terkait
langsung dengan penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Bantaeng.
Adapun
sekolah yang ditetapkan untuk di-assessment adalah: 1) SD Negeri 59
Labbo; 2) SD Inpres Tappanjeng; 3) SD Negeri 40 Lumpangang; 4) SD Inpres
Borong Tarampang; 5) SD Inpres Sarrea; 6) SMP Negeri 1 Tompobulu; 7) SMP
Negeri 1 Pa’jukkukang; 8) SMP Negeri 2 Bissappu; 9) MTS Muhammadiyah Bantaeng;
10) SMP Negeri 1 Bantaeng. Wilayah Kabupaten Bantaeng terdiri dari dataran
rendah yang memanjang mengikuti garis pantai dan dataran tinggi yang merupakan
bagian dari Pegunungan Karaeng Lompoa. Empat sekolah di atas merupakan sekolah
yang berada di wilayah dataran tinggi. Beberapa sekolah di atas juga merupakan
sekolah unggulan atau sekolah percontohan yang ditetapkan oleh pemerintah
Kabupaten Bantaeng.
B.
Situasi dan Kondisi Sekolah dalam Kaitan Isu
Difabel
Kesiapan sekolah dalam
melaksanakan pendidikan inklusi dilihat dari kondisi sarana dan prasana, kesiapan
guru dan perangkat pembelajaran.
1) Kondisi Sarana dan Prasarana
Kondisi
sarana dan prasarana yang penting untuk dinilai dalam kaitannya dengan
pelaksanaan pendidikan inklusi adalah; apakah sarana dan prasarana yang ada
aksesibel untuk berbagai jenis difabel? Sekolah di Bantaeng berada pada dua
kondisi geografis yang berbeda, yakni dataran tinggi dan dataran rendah.Sekolah yang berada pada dataran tinggi memiliki
kontur yang sedikit tidak rata, sedangkan yang berada pada dataran rendah
memiliki kontur yang sangat rata.Namun bukan berarti sekolah-sekolah yang
berada pada dataran tinggi tidak bisa dibuat menjadi rata, itu terlihat pada
bangunan SD Negeri 59 Labbo yang sangat rata, meskipun berada pada dataran
tinggi.Kondisi sekolah yang tidak rata merupakan
satu masalah untuk aksesibilitas bagi siswa difabel tertentu, misalnya pengguna
kursi roda, kaki palsu, tongkat, siswa tuna netra dan lain-lain.
Penataan
bangunan sekolah di Kabupaten Bantaeng umumnya belum memperhatikan
aksesibilitas bagi siswa difabel.Jalan
penghubung antar bangunan yang tidak rata, berlobang dan bertingkat-tingkat,
serta sarana lain yang tidak dilengkapi alat bantu, tentunya tidak aksesibel
bagi siswa difabel jenis tertentu.Kondisi
tersebut terjadi di hampir semua sekolah di Kabupaten Bantaeng.MTS Muhammadiyah, misalnya, sebagai salah
satu sekolah unggulan, struktur bangunannya bertingkat serta tidak dilengkapi
dengan alat bantu, yang dengan demikian sangat mustahil bisa diakses oleh siswa
yang memiliki kendala dalam berjalan dan melihat.Sedangkan di SD Inpres Sarrea, WC dengan
kloset duduk yang seharusnya sangat membantu bagi siswa difabel, justru
dialihfungsikan menjadi gudang penyimpanan barang.Klosetnya sendiri dijadikan
meja untuk menyimpan kertas-kertas bekas.Selain itu, masih banyak contoh yang
lain.
Sekolah-sekolah
di Kabupaten Bantaeng juga belum memiliki alat bantu untuk siswa dengan jenis
difabel tertentu, misalnya alat bantu membaca tuna netra (braile), alat
bantu tuna rungu, kursi roda, kursi khusus siswa lumpuh/layu dan alat bantu
lainnya.Hal tersebut diperparah dengan kenyataan bahwa anggaran setiap sekolah
belum ada satupun yang dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan siswa difabel
atau dalam hal persiapan pelaksanaan pendidikan inklusi (Dokumen laporan
penggunaan dana BOS Sekolah: 2016)
2)
Kesiapan Guru
Sekolah
ekslusif seperti sekolah luar biasa masih dipandang sebagai tempat yang tepat
bagi anak difabel.Jikapun kemudian mesti menerima siswa
difabel, maka di setiap sekolah mesti disiapkan guru khusus untuk menanganinya
atau paling tidak guru yang ada sekarang diberikan pelatihan khusus untuk
menangani siswa difabel.Pandangan
demikian menjadikan guru-guru tidak memiliki motivasi dan inisiatif untuk
meningkatkan kemampuan agar mampu menangani siswa berkebutuhan khusus.Hampir seluruh guru di sekolah yang di-assesment
menyatakan ketidaksanggupan dalam menangani siswa difabel.Upaya maksimum yang dilakukan adalah
memberikan motivasi pada siswa agar siswa yang teridentifikasi berbeda dari
siswa pada umumnya tetap termotivasi untuk sekolah.
Bukti
ketidaksanggupan dan tidak adanya inisiatif guru dalam menangani siswa difabel
terlihat pada perlakuan yang diterima oleh Inayah, siswa kelas 5 di SD 40
Lumpangan, yang mesti diberikan tugas-tugas yang tidak ada kaitannya dengan
proses belajarnya, misalnya cuci piring, menyapu dan membersihkan dapur, karena
dianggap tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan di kelas.Inayah
adalah seorang anak disleksia, yang seharusnya mendapatkan penanganan khusus.Penting untuk diketahui bahwa banyak metode
dan media yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah disleksia.
Guru
seharusnya menjunjung tinggi prinsip dan keyakinan bahwa betapapun naïf dan
bodohnya anak, dia dapat berkembang dan berubah.Meskipun terdapat perbedaan
nyata dalam hal kecerdasan, sesungguhnya semua orang mempunyai susunan otak
yang sama.Ini berarti setiap orang memiliki potensi
otak yang relatif sama dan memiliki peluang yang sama untuk berkembang, yang
terpenting adalah bagaimana otak tersebut diolah dan dikembangkan.Untuk menjadi
pendidik yang baik, yang diperlukan di atas segalanya adalah keyakinan yang
tinggi kepada manusia.Tanpa
manusia maka dunia pun tidak ada (Freire: 2008).
Guru
sebagai pendidik profesional diidealkan mampu menjadi agen pembelajaran yang
edukatif, yaitu dapat menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa dan
inspirator pembelajaran (E.Mulyasa:
2007).Sebagai perekayasa pembelajaran, guru harus:
1) Mampu merancang, mengembangkan, melaksanakan, mengevaluasi dan
menyempurnakan kegiatan pembelajaran sesuai kebutuhan peserta didik dan
masyarakat; 2) Memandang kegiatan pembelajaran sebagai kegiatan yang dinamis
dan inovatif, yang perlu dikembangkan dan dimutakhirkan secara terus
menerus sesuai kebutuhan peserta didik.Prinsip
yang perlu ditekankan adalah problem yang dihadapi oleh siswa difabel tertentu
bukanlah problem yang berlangsung secara individu, namun tidak terpisahkan
dari lingkungannya, khususnya lingkungan sekolah.Dapat dikatakan juga bahwa
problem tersebut adalah problem bersama yang juga harus diselesaikan secara
bersama-sama.
Dengan
demikian, guru seharusnya melakukan inovasi untuk menemukan metode dan bahan
pembelajaran yang mampu menyelesaikan problem yang dihadapi oleh siswa difabel
tertentu.Tentunya, inovasi tersebut harus diupayakan
secara bersama-sama oleh guru bersama siswa bersangkutan dan juga dengan siswa
lain.Peran siswa lain dalam hal ini juga memiliki
kedudukan penting.Sebagai teman bermain, curhat dan lain sebagainya, tentu saja
mereka juga memahami problemnya.Sebagai
contoh, peran yang dilakukan oleh Nurul, siswa kelas 5 SD Negeri 59 Labbo, yang
mampu membantu Misra (sahabatnya) untuk meningkatkan kemampuan membaca dan
menulis, meskipun peningkatannya belum signifikan.
3) Kurikulum dan Perangkat Pembelajaran Lainnya
Salah satu perangkat pembelajaran yang
paling penting untuk memastikan terpenuhinya hak-hak difabel dalam proses
pembelajaran adalah kurikulum.Sekolah-sekolah
di Kabupaten Bantaeng umumnya menggunakan kurikulum 2013 dan KTSP.Pada
kurikulum tersebut pemenuhan hak-hak difabel tidak termaktub secara tegas dalam
poin-poin pokok yang menjadi target capaian pembelajaran.Mungkin atas dasar itu
pelaksanaan pembelajaran di sekolah-sekolah di Kabupaten Bantaeng masih
mengabaikan hak-hak siswa difabel.Meskipun sesungguhnya kurikulum tersebut
mengharuskan pemenuhan hak-hak dan peningkatan potensi siswa tanpa terkecuali,
yang berarti hak-hak siswa difabel juga wajib dipenuhi dalam proses
pembelajaran.
Perangkat pembelajaran lainnya belum mengakomodasi kepentingan
siswa difabel.Penyusunan kurikulum dan perangkat
pembelajaran lainnya tidak berdasarkan pada kebutuhan siswa.Penyusunannya mutlak berdasarkan pada pandangan
guru atau guru menjadi subjek sepenuhnya dan siswa menjadi objek
sepenuhnya.Kekeliruan terbesarnya adalah semua berdasar pada pandangan
subjektif yang menganggap semua siswa sama dalam hal kondisi, kebutuhan, keinginan,
kecenderungan dan lain-lain. Pembelajaran masih bertumpu pada RPP, sementara
RPI masih asing di kalangan guru. Tentunya, fakta-fakta tersebut menjadikan hak-hak
siswa difabel sudah pasti tidak terakomodasi.Praktek tersebut merupakan wujud
pendidikan yang anti-realitas.Kurikulum
dibuat murni oleh mereka yang menganggap dirinya ahli tanpa mempertimbangkan
pluralitas kehidupan murid.Realitas
dianggap sama dimana dan kapan saja.Proses demikian jelas tidak demokratis dan
tidak akomodatif (M.Agus Nuryatno: 2011).
Siswa difabel pastinya berkebutuhan khusus,
sementara perangkat pembelajarannya bersifat umum.Maka, tidak aneh ketika
banyak masalah siswa yang tidak terselesaikan, misalnya masalah yang dihadapi
Inayah, atau Arwin, siswa kelas 2 SMP Negeri 2 Bissappu, yang semangat
sekolahnya tinggi, namun minat belajarnya saat di kelas rendah, dan masih
banyak kasus-kasus yang lain.
C.
Persepsi Terhadap Pendidikan Inklusi
Bagi sebagaian besar guru dan manajemen
sekolah di Kabupaten Bantaeng, istilah pendidikan inklusi masih asing.Hanya sebagian kecil yang mengetahuinya,
itupun masih jauh dari pengetahuan komprehensif. Hal tersebut terungkap dari
FGD guru dan manajemen sekolah yang di-assessment, pada tanggal 11-26
April 2016.Penanganan anak difabel masih dipandang sebagai tanggung jawab
sekolah luar biasa.Hal tersebut juga berlaku di masyarakat,
pilihan untuk menangani anak difabel adalah dengan memasukkan ke sekolah luar
biasa.
1) Persepsi Sekolah
Pada sebagian kalangan, isu difabel masih
dilihat dengan menggunakan perspektif segregatif, yaitu cara pandang yang
melihat bahwa pelaksanaan sebuah sistem, khususnya pendidikan, haruslah merujuk
pada kepentingan siswa normal.Dengan kata lain, mendudukkan kepentingan anak
difabel sebagai sebuah hal yang bukan prioritas untuk ditangani.Cara pandang segregatif
membedakan status sosial antara yang normal dengan tidak normal, atau lebih ke
perspektif medis.Sehingga kehidupan dikonstruksi oleh orang
normal dan memprioritaskan kepentingan mereka.Kelompok yang dianggap tidak normal pada
akhirnya tidak bisa menghindari kedudukannya sebagai subordinat dalam
ruang-ruang kehidupan.Maka, kelompok difabel menjadi sulit mengakses ruang
publik karena memang dikonstuksi dengan tidak memperhatikan kepentingannya.
Di kalangan guru dan manajemen sekolah di
Kabupaten Banteang, masih berlaku prinsip bahwa penanganan siswa normal mesti
diprioritaskan.“Penanganan siswa normal saja masih jauh dari capaian
maksimal, bagaimana mungkin kita bisa menangani yang tidak normal”.Begitulah
komentar para guru dan manajemen sekolah.Persepsi yang berlaku sejauh ini adalah
tempat yang tepat untuk menangani siswa berkebutuhan khusus adalah sekolah luar
biasa.Sehingga keberadaan siswa berkebutuhan
khusus dipandang sebagai masalah yang sulit atau bahkan tidak bisa
ditangani.Sebagian sekolah malah tidak berani menerima siswa berkebutuhan
khusus karena tidak tersedianya resource dan metode penanganan.Pandangan
demikian merupakan bentuk ketidakadilan, sementara salah satu tujuan pendidikan
adalah mewujudkan keadilan.Keadilan dalam proses pendidikan akan mendorong
pertumbuhan menuju aktualisasi diri, integrasi dan/ atau conscientazao,
sebaliknya ketidakadilan akan menghambat pertumbuhan (A.Smith: 2008).
Meskipun beberapa sekolah tetap menerima
siswa berkebutuhan khusus, namun lebih pada aspek kemanusiaan atau rasa iba,
bukan karena kesediaan atau kesanggupan melakukan penanganan khusus.Sehingga pada perkembangannya, siswa
tersebut malah menjadi masalah yang tidak terselesaikan yang membebani
sekolah.Misalnya yang terjadi pada Inayah di SD 40 Lumpangang yang sampai kelas
5 belum mampu membaca dan menulis dengan baik.Bukannya penanganan khusus yang diberikan,
sebaliknya dia disembunyikan untuk menghindari pengawasan karena ketakutan akan
dijadikan indikator kegagalan oleh pengawas sekolah.Di luar itu, masih banyak
bentuk-bentuk diskriminasi lain yang diterimanya.
Masalah yang hampir sama terjadi pada Misra,
siswa kelas 5 SD Negeri 59 Labbo, yang belum mampu menulis dan membaca dengan
baik.Sejauh ini, dia tidak mendapatkan penanganan
khusus, sebaliknya pihak sekolah kebingungan untuk membuat keputusan apakah
meluluskan dia dari sekolah dengan kondisi demikian, ataukah menahannya dengan
usia yang tidak lagi wajar berada di sekolah dasar.Masalah lain yang terjadi
adalah bentuk celaan atau bullying dari siswa lain terhadap siswa
difabel.Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya
upaya penyadaran dari pihak sekolah terkait dengan kedudukan siswa difabel dan
bagaimana seharusnya memperlakukannya.Dan
masih banyak masalah lain yang terjadi di sekolah-sekolah di Kabupaten
Bantaeng.
Sejauh ini, metode yang digunakan oleh
beberapa guru adalah dengan memberikan perlakuan yang sama antara siswa difabel
dengan siswa non-difabel.Metode
tersebut cukup berhasil dalam menjaga spirit siswa di sekolah, sehingga
bisa dikatakan sebuah langkah maju.Namun
tentunya metode tersebut harus ditingkatkan pada bentuk penanganan yang lebih
maju karena masalahnya bukan hanya menyangkut spirit tapi yang lebih
pokok adalah penyelesaian masalah khusus yang dihadapi.
Pendidikan inklusi, dalam pandangan
sekolah, masih dianggap sesuatu yang sulit dilaksanakan.Dalam pelaksanaannya,
hal paling mendasar yang mesti terpenuhi adalah keberadaan guru-guru khusus di
sekolah-sekolah karena guru yang ada saat ini tidak akan mampu menangani siswa
difabel, ditambah lagi dengan tidak tersedianya fasilitas penunjang.Seperti
itulah pandangan sekolah-sekolah di Kabupaten Bantaeng.Secara umum, persepsi
mereka terkait dengan pelaksanaan pendidikan inklusi adalah dengan
memperbanyak sekolah-sekolah khusus (sekolah luar biasa), resolusi tersebut
dipandang sebagai jalan keluar yang paling tepat untuk anak difabel.
2) Persepsi Masyarakat
Sama
seperti pandangan sekolah, di masyarakat Kabupaten Bantaeng masalah difabel
masih dipandang dengan perspektif yang segregatif.Anak difabel dianggap sebagai
anak yang tidak normal.Anak
difabel dianggap tidak memiliki masa depan yang lebih baik.Bahkan yang paling parah, keberadaan anak
difabel dianggap sebagai bentuk kesialan dan diposisikan layaknya aib bagi
keluarga dalam kehidupan bermasyarakat.Keberadaan
anak difabel membawa rasa malu dalam keluarga.Hal tersebut tidak terlepas dari persepsi
masyarakat secara luas.
Dalam
hal pendidikan, sebagian besar orang tua anak difabel menganggap pendidikan
bagi anak difabel tidaklah terlalu penting, karena tidak adanya harapan masa
depan yang lebih baik.Hanya
keinginan kuat dari sang anaklah yang memaksa orang tua untuk tetap
menyekolahkannya.Pada situasi tersebut, orang tua anak difabel diperhadapkan
pada dilema.Di satu sisi, menyekolahkan anak di SLB sulit karena hanya terdapat
satu sekolah di Kabupaten Bantaeng yang terletak di pusat kota, sehingga sulit
dijangkau masyarakat secara luas.Pilihan tersebut juga akan menegaskan
pandangan masyarakat bahwa anak tersebut tidak normal.
Di
sisi lain, menyekolahkan anak di sekolah umum tidak bisa memberikan perubahan
yang signifikan bagi anak difabel, karena minimnya bentuk penanganan khusus
yang bisa diberikan di sekolah umum.Situasi
tersebut menjadikan sebagian besar orang tua anak difabel menyekolahkan anak
hanya untuk tujuan menyenangkan sang anak, tidakada harapan perubahan.Hal
tersebut berdampak pada minimnya partisipasi orang tua dalam mengawal sang anak
di sekolah.Apapun kenyataan yang dihadapi atau didapatkan sang anak di sekolah
dianggap sebagai hal yang biasa.
Secara
umum, masyarakat Kabupaten Bantaeng belum memiliki pengetahuan tentang
pendidikan inklusi.Hal tersebut memang masih sangat asing
mengingat belum adanya upaya sosialiasi atau propaganda yang dilakukan oleh
pemerintah maupun organisasi yang bergerak pada advokasi isu-isu difabel dan
pendidikan inklusi.Namun penjelasan sederhana yang dilakukan
oleh Tim Assessment mampu memberikan sedikit harapan terkait dengan
jalan keluar atas masalah anak difabel.
Melihat
isu difabel dengan cara pandang segregatif adalah pandangan yang tidak
manusiawi.
Jalan keluar bagi anak difabel adalah keadilan sosial dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sehari-hari.“It is about to be a part of society, not to to be
apart from society” (Wills: 2000).Proses yang disebut dengan humanisasi,
yang dalam pengertian Paulo Freire bukanlah pencarian kebebasan individu.Tujuan humanisasi adalah tujuan sosial, dan
kebutuhan manusia menjadi makhluk bagi dirinya sendiri tercapai saat
masyarakat mampu menjadi sesuatu untuk dirinya sendiri.Manusia sebagai
individual tidak mengetahui dan tidak bereksistensi di luar masyarakat.Persahabatan dan solidaritas merupakan tugas
dan nilai terpenting bagi umat manusia (Collins: 2011).
D.
Kebijakan dan Program Pemerintah Kabupaten Bantaeng untuk Isu Difabel
Pembangunan
suatu daerah seharusnya diarahkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakatnya tanpa
diskriminasi.Kabupaten Bantaeng adalah salah satu
kabupaten di Sulawesi Selatan yang memiliki begitu banyak program pembangunan
dan mendapatkan pengakuan luas dalam kurun 6-7 tahun terakhir.Namun, dalam hal pemenuhan kebutuhan
kelompok difabel, program dan kebijakan dari Pemerintah Kabupaten Bantaeng masih
tergolong minim.Sampai saat ini, program yang paling nampak
adalah program pengembangan ruang publik ramah penyandang disabilitas yang
diprogramkan oleh Dinas Sosial.Realisasi program tersebut sejauh ini adalah
pengembangan objek wisata Pantai Seruni yang aksesibel bagi penyandang
disabilitas.Selain program tersebut belum ada program
ataupun kebijakan yang lain.
Dalam
hal pendidikan, landasan untuk melaksanakan pendidikan inklusi di Kabupaten
Bantaeng hanya Peraturan Gubernur (Pergub) Sulawesi Selatan No.11 tahun 2013 yang mewajibkan pelaksanaan
pendidikan inklusi.Namun, belum ada tindak lanjut dari Pergub tersebut dalam
bentuk peraturan daerah (perda), peraturan bupati (perbup), apalagi dalam
bentuk program.Adapun keberadaan UU No.8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas,
belum banyak diketahui oleh pihak-pihak yang terkait langsung dengan isu
difabel di pemerintahan Kabupaten Bantaeng.Sejauh ini, bentuk kemajuan dalam
upaya pelaksanaan pendidikan inklusi di Kabupaten Bantaeng baru sebatas komitmen
dari dinas-dinas yang terkait langung dengan isu difabel, termasuk pihak
Bappeda, untuk bersama-sama mendorong pelaksanaan pendidikan inklusi di
Kabupaten Bantaeng.
E.
Kesiapan Kabupaten Bantaeng untuk Pelaksanaan Pendidikan Inklusi
Mengukur
kesiapan suatu daerah dalam melaksanakan pendidikan inklusi akan dilihat dari
kesiapan lingkungan fisik dan sosial.Penilaian
terkait dengan lingkungan fisik, adalah: 1) Kondisi sarana dan prasarana belum
aksesibel bagi berbagai jenis siswa difabel; 2) Sumber daya guru dan manajemen
sekolah belum memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus untuk menangani
siswa difabel, yang diperparah dengan belum adanya motivasi, serta inisiatif
untuk mengembangkan metode dan media yang bisa digunakan untuk menangani siswa
difabel; 3) Dari segi anggaran, sampai saat ini, baik di sekolah-sekolah
maupun di dinas-dinas terkait belum ada alokasi anggaran dalam rangka persiapan
pelaksanaan pendidikan inklusi.Di Pemkab Bantaeng sendiri belum ada alokasi
anggaran yang spesifik untuk mewujudkan pendidikan inklusi.Hanya pihak Bappeda yang telah berinisiatif
memberikan anggaran untuk pelaksanaan beberapa program, misalnya program assessment
persiapan pendidikan inklusi, sensus difabel dan workshop penyelenggaraan
pendidikan inklusi.
Sedangkan
dari aspek sosial, adalah: 1) Secara umum, guru dan manajemen sekolah
berpandangan bahwa bentuk pelaksanaan pendidikan inklusi adalah dengan memperbanyak
sekolah luar biasa, ataukah dengan menyiapkan guru khusus di setiap sekolah,
dan yang paling minimum adalah dengan memberikan pendidikan khusus atau
pelatihan bagi guru dan manajemen sekolah dalam hal penanganan siswa difabel;
2) Masyarakat Bantaeng belum bisa memberikan pandangan yang lebih maju karena
minimnya pengetahuan tentang pendidikan inklusi.Hanya sebagian kecil masyarakat yang telah mendapatkan
penjelasan lebih luas tentang pendidikan inklusi dari Aksara Institute, yang
menganggap pendidikan inklusi adalah sebuah jalan keluar yang baik untuk
mengatasi masalah pendidikan yang dihadapi oleh kelompok difabel; 3) Secara
normatif, persepsi Pemkab Bantaeng terhadap pendidikan inklusi sangat baik,
namun belum ada upaya konkrit yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan pendidikan
inklusi.Langkah termaju yang ada baru sebatas
komitmen untuk merealisasikan pendidikan inklusi di Kabupaten Bantaeng.
Melihat
kondisi di atas, maka Kabupaten Bantaeng masih jauh dari siap untuk
melaksanakan pendidikan inklusi.Poin
positif yang ada baru sebatas komitmen dari pihak yang bertanggungjawab
langsung terhadap pelaksanaan pendidikan.Komitmen itupun masih tergolong lemah,
mengingat komitmen tersebut lebih karena adanya beberapa peraturan yang telah
diketahui secara luas, serta fakta bahwa isu difabel sedang naik ke permukaan.Komitmen tersebut bukan karena adanya
kesadaran tentang keharusan untuk mewujudkan pendidikan yang tidak
diskriminatif.
Teori-teori
pendidikan yang bersifat eksklusi masih menjadi dasar teori atau paradigma
yang digunakan oleh keumuman penyelenggara pendidikan di Indonesia hingga saat
ini, termasuk di Kabupaten Bantaeng sendiri.Cara pandang yang segregatif masih
mendominasi para penyelenggara pendidikan dan pihak-pihak terkait
lainnya.Adanya perbedaan atau kebutuhan khusus bagi siswa difabel dianggap akan
memperlambat kemajuan siswa normal.Pemenuhan
kebutuhan siswa difabel membutuhkan anggaran yang besar atau dengan kata lain
pendidikan inklusi dianggap mahal.Sehingga pelaksanaan pendidikan di Kabupaten
Bantaeng masih mendudukkan pemenuhan kebutuhan siswa non-difabel sebagai prioritas,
setelah itu barulah pemenuhan kebutuhan siswa difabel bisa dilakukan.Cara pandang tersebut tentunya mengabaikan
dampak negatif yang ditimbulkan, baik dari aspek psikologis maupun
sosiologis.Cara pandang tersebut sangatlah diskriminatif dan melukai
kelompok-kelompok tertentu yang juga berhak atas pendidikan.
Pandangan
demikian merupakan dampak dari lenyapnya ciri kemanusiaan yang disebabkan oleh
dominasi kapitalisme modern yang mengubah mayoritas manusia menjadi
tergantung, ditindas, dijadikan sebagai mesin ekonomi dan teralienasi dari
kehidupannya.Alienasi tak hanya berlaku di bidang
pekerjaan tetapi berlaku pula di bidang politik, kultur, pendidikan, kesenian,
konsumsi, keluarga dan bidang lain, atau di seluruh ruang kehidupan (Sztompka:
2011).Di bidang pendidikan, kaum difabel dianggap tidak memiliki hari depan,
tidak produktif dan tidak akan memberikan banyak kontribusi bagi
keberlangsungan kehidupan yang dikonstruksi oleh sistem kapitalisme monopoli.Sehingga kaum difabel tidak lagi dapat
berpartisipasi dengan baik dalam proses pembelajaran, tidak lagi mampu
bersosialisasi dengan baik atau terisolasi dari lingkungan sekolah dan
masyarakat, terasing dari orang lain dan kawan-kawannya, bahkan dimusuhi dan
memusuhi orang lain.Alienasi berarti kehilangan dorongan hati untuk bergaul,
kehilangan kreativitas, kehilangan harapan dan kehilangan kontrol terhadap
tindakan, atau singkatnya, menghancurkan “potensi kemanusiaan”.
Setidaknya
ada 3 hal yang terabaikan dari cara pandang demikian, yakni fakta bahwa: 1)
Ketika suatu sekolah aksesibel bagi kelompok difabel, maka sekolah tersebut
sudah pasti aksesibel bagi siswa non-difabel; 2) Ketika sekolah mampu
menangani siswa difabel, maka siswa non-difabel akan jauh lebih mampu
ditangani, atau kemajuannya akan jauh lebih besar dibanding dengan apa yang
didapatkan saat ini; 3) Ketika siswa non-difabel mampu membangun hubungan yang
baik dengan siswa difabel, maka itu akan menjadi tolak ukur bahwa siswa
tersebut akan mampu hidup di masyarakat yang beragam, atau mampu mendekatkan
diri pada realitas kehidupannya.
Kenyataan
yang ada menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Bantaeng
masih jauh dari prinsip dasar pendidikan inklusi, yakni: Pertama, setiap
orang secara inheren punya hak terhadap pendidikan atas dasar kesamaan
kesempatan; Kedua, tidak boleh ada peserta didik yang terekslusi dan
terdiskriminasi dalam pendidikan dengan alasan apapun, apakah ras, warna
kulit, gender, bahasa, agama, politik, difabilitas dan lain-lain; Ketiga, semua
anak pada dasarnya dapat belajar dan mendapat manfaat dari pendidikan; Keempat,
sekolah merupakan pihak yang bertanggungjawab untuk menyediakan kebutuhan
peserta didiknya, bukannya peserta didik yang harus mengadaptasi kebutuhan
sekolah; Kelima, pandangan, opini dan pendapat peserta didik harus
didengar dan diperhatikan; Keenam, perbedaan-perbedaan individual
diantara peserta didik adalah sumber kekayaan dan keragaman, bukannya sebuah
masalah; Ketujuh, dasar pendidikan inklusif bukanlah asimilasi, tapi
apresiasi atas perbedaan (M.Agus Nuryatno: 2011).
Meski
demikian, Pemkab Bantaeng telah berkomitmen untuk melaksanakan pendidikan
inklusi sesuai dengan amanah Pergub No.11
tahun 2013.Sebagai catatan, UU No.8 tahun 2016 belum banyak didiskusikan di
Kabupaten Banteng karena belum tersosialisasi secara luas.Meskipun masih
sebatas komitmen, namun itu satu langkah maju yang penting untuk
ditindaklanjuti oleh berbagai pihak yang mendorong realisasi pendidikan
inklusi.
F.
Kesimpulan
Pendidikan
inklusi merupakan wujud pendidikan yang humanis, sebagai bentuk perlawanan atas
sistem pendidikan yang selama ini terus mengeksklusi kelompok-kelompok
tertentu, utamanya kaum difabel.Proses mengeksklusi tersebut merupakan bentuk
dehumanisasi.Dehumanisasi,
oleh Paulo Freire, dikatakan sebagai bentuk nyata dari proses alienasi dan
dominasi (Freire: 2007).Penyataan
tersebut sejalan dengan kenyataan yang dihadapi oleh kaum difabel di dunia
pendidikan.Kaum
difabel terus teralienasi dari dunia pendidikan yang dikonstruksi oleh kelompok
non-difabel.
Memperjuangkan
pendidikan inklusi adalah jalan terang untuk mewujudkan hak-hak kelompok yang
selama ini tereksklusi di dunia pendidikan, utamanya kaum difabel.Mewujudkan
pendidikan inklusi tidaklah mudah, dibutuhkan kesadaran penuh dari berbagai
pihak, baik penyelenggara pendidikan dan pihak terkait lainnya maupun
masyarakat secara luas.Kabupaten
Bantaeng telah berkomitmen untuk mewujudkannya, komitmen tersebut adalah titik
tolak untuk langkah maju selanjutnya, namun komitmen tersebut tidak akan
berarti apa-apa tanpa upaya konkrit untuk mewujudkannya. Assessment ini
menyimpulkan, bahwa sejauh ini belum ada langkah konkrit untuk mewujudkan
pendidikan inklusi di Kabupaten Bantaeng.Oleh karenanya, disarankan kepada
seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten
Bantaeng agar mulai melakukan upaya konkrit untuk mewujudkan pendidikan
inklusi.
Daftar Pustaka
Buku, Jurnal,
Penelitian, dan Majalah
Budiman, Hikmat (2012).Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Collins, Dennis (2011).Paulo Freire; Kehidupan, Karya &
Pemikirannya. Penerjemah: Henry Heyneardhi & Anastasia P.Yogyakarta: Komunitas Apiru Bekerjasan
dengan Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo (2008).Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia.
--------, ----- (2008).Pendidikan Sebagai Proses; Surat
Menyurat Pedagogis dengan Para Pendidik Guinea-Bissau. Penerjemah: Agung
Prihantoro.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
--------, ----- (2007).Politik Pendidikan; Kebudayaan,
Kekuasaan dan Pembebasan. Penerjemah: Agung Prihantoro & Fuad Arif
Fudiyartanto.Yogyakarta: REaD (Research, Education dan Dialogue) & Pustaka
Pelajar.
Mulyasa, M (2007).Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung:
Rosdakarya.
Nuryatno, M.Agus
(2011).Mazhab
Pendidikan Kritis; Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.
Smith, William A (2008).Conscientizacao; Tujuan Pendidikan
Paulo Freire. Penerjemah: Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sztompka, Piotr (2011).Sosiologi Perubahan Sosial. Penerjemah:
Alimandan.Jakarta: Prenada Media Group.
Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.
Tidak ada komentar:
Write komentar