Rabu, 01 Maret 2017

Assesment Persiapan Pendidikan Inklusi (Studi Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan)






Penulis:

Ismar Hamid – Aksara Institute

Diterbitkan oleh Jurnal Difabel Vol. 3/No. 3/2016 – ISSN 2460-6030 – Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)

Abstrak
Pendidikan inklusi adalah proses untuk membuat semua peserta didik dapat belajar dan berpartisipasi secara aktif di sekolah mainstream, tanpa ada yang terdiskriminasi. Assessment ini untuk melihat persia­pan pendidikan inklusi di Kabupaten Bantaeng. Assessement meliputi lingkungan fisik dan sosial, yakni: sarana dan prasarana, kesiapan guru dan manajemen seko­lah, perangkat pembelajaran, persepsi dari sekolah, masyarakat dan pemerintah. Instrumen yang digunakan adalah observasi, Focus Group Discussion (FGD) dan Wawancara Informan Kunci (WIK). Assessement ini menemukan fakta bahwa Kabupaten Bantaeng masih jauh dari siap untuk melaksanakan pendidikan inklusi. Kondisi sarana dan prasarana belum aksesibel untuk berbagai jenis difabel. Belum ada inisiatif dan inovasi sekolah dalam menangani siswa difabel tertentu. Penanganan siswa difabel dianggap hanya bisa dilakukan oleh guru khusus. Kurikulum dan pe­rangkat pembelajaran lainnya pun belum spesifik mengakomodasi kepentingan difabel. Dalam hal persepsi, baik pihak sekolah, masyarakat maupun pemerintah, masih mendudukkan Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah eksklusif sebagai solusi yang paling tepat untuk siswa difabel. Belum ada pemahaman secara luas dan mendalam tentang pendi­dikan inklusi. Keinginan untuk melaksanakan pendidikan inklusi hanya karena adanya tekanan dari beberapa regulasi dan kebijakan. Kondisi termaju yang ada hingga saat ini hanya dalam bentuk komitmen untuk melaksanakan pendidikan inklusi dari pihak-pihak yang terkait langsung, namun belum ada upaya konkrit.

Kata Kunci: Pendidikan Inklusi; Difabel; Diskriminatif; Aksesibel; Kabupaten Bantaeng.

Pendahuluan

Pendidikan adalah sebuah proses memajukan kebudayaan manusia. Kemajuan budaya tersebut ditandai dengan peningkatan kualitas hidup manusia (masyarakat), yang berlaku secara menyeluruh, tidak hanya bagi individu atau golongan tertentu. Tanpa adanya peningkatan kualitas hidup secara luas, maka pendidikan yang ada tidak bisa dianggap berhasil. Nilai-nilai yang diajarkan dalam pen­didikan tidak akan berarti apa-apa, jika tidak diwujudkan di dalam kehi­dupan (Paulo Freire: 2008). Dengan kata lain, pendidikan bertujuan untuk mengubah realitas yang dihadapi oleh masyarakat ke arah yang lebih baik. Bukan untuk kepentingan individu atau golongan tertentu yang kemudian membangun hubungan sosial menin­das-ditindas dan menguasai-dikuasai dalam masyarakat. Akar masalah yang telah menja­di tesis atas sekelumit masalah yang dihadapi oleh masyarakat dunia hari ini.
Freire mengatakan bahwa pen­didikan adalah untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pe­merdekaan, bukan penjinakan sosial budaya (Freire: 2007). Kenyataan menjadi objek pengetahuan, sebagai alat analisa untuk mengubah kenyata­an tersebut.Objek pengetahuan yang permanen adalah kondisi kehidupan dan kegiatan masyarakat sehari-hari (Freire: 2008). Pendidikan haruslah menjunjung tinggi keadilan sosial dan kesetaraan, yang termanifestasikan dalam praktek pendidikan sehari-hari. Namun, seko­lah seringkali menunjukkan wajahnya yang ambigu dan paradoks. Di satu sisi, sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang pada prakteknya justru bertindak otoriter dan anti-demokrasi.
Sekolah punya slogan “mencer­daskan anak bangsa”, tapi pada prak­teknya hanya untuk anak yang punya modal dan kapital. Sekolah punya visi untuk menjunjung tinggi persamaan derajat dan anti diskriminasi, tapi pada prakteknya tidak mengakomodasi kelompok-kelompok tertentu, seperti anak-anak-anak jalanan, suku bangsa minoritas, anak-anak di pelosok-pelosok desa dan utamanya kaum difabel (M. Agus Nuryatno: 2011). Praktek demikian jelas kontradiktif dengan tujuan hakiki penyelenggaraan pendidikan.
Kenyataan menunjukkan bahwa sangat banyak praktek diskriminatif dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kelompok yang paling ba­nyak mendapatkan diskriminasi atau pengabaian atas hak-haknya adalah kelompok difabel, misalnya pengabai­an akses atas fasilitas maupun kebutu­han khusus lainnya. Sungguh ironis, karena praktek diskriminatif tersebut terjadi di sekolah, yang seyogyanya menjadi ruang paling demokratis, tem­pat berlangsungnya proses memanu­siakan manusia dimulai. Pendidikan menjadi semakin eksklusif, jauh dari realitas hidup masyarakat Indonesia.
Pendidikan dikonstruksi oleh pihak-pihak yang berbeda kepentingan dan realitas hidup dengan masyarakat Indonesia secara luas. Hal demikian merupakan sebuah keniscayaan ka­rena masyarakat di berbagai belahan dunia terus digiring memasuki sebuah periode kehidupan, dimana mereka tidak sanggup lagi mengenali realitas hidupnya, dan dipaksa menerima se­gala sesuatu yang bersifat semu yang diciptakan oleh berbagai kekuatan be­sar di luar dirinya (Hikmat Budiman: 2012). Kenyataan demikian menjadi dasar yang sangat meyakinkan untuk mengubah pendidikan Indonesia yang cenderung eksklusif menjadi inklusif. Pendidikan yang mengakomodasi kepentingan seluruh anak bangsa tanpa terkecuali. Pendidikan inklusi adalah proses untuk membuat semua peserta didik, termasuk di dalamnya kelompok yang tereksklusi, dapat be­lajar dan berpartisipasi secara efektif dalam sekolah mainstream, tanpa ada yang terluka dan terdiskriminasi. Pen­didikan inklusi sebenarnya merupakan persoalan politik kultural identitas dan perbedaan (M. Agus Nuryatno: 2011).
Pengesahan UU No. 8 tahun 2016 menjadi satu kemajuan dalam upaya pelaksanaan pendidikan inklusi di In­donesia. Peraturan tersebut menegas­kan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas, yang sekaligus menjadi penegas untuk pelaksanaan pendidik­an inklusi (Pasal 5 ayat [10]), yaitu: 1) Mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendi­dikan secara inklusif dan khusus; 2) Mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidik­an di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan; 3) Mempunyai kesamaan kesempatan sebagai penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan; dan, 4) Menda­patkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik.
Pelaksanaan pendidikan inklusi merupakan jalan terang untuk meng­hapuskan praktek-praktek diskrimina­si terhadap kaum difabel. Kabupaten Bantaeng seharusnya tidak akan menemui kendala dalam melaksa­nakan pendidikan inklusi, karena ditopang dengan visi yang senantiasa memprioritaskan kebutuhan masya­rakatnya tanpa diskriminasi. Seruan pelaksanaan pendidikan inklusi bukan hal yang baru, seharusnya telah ada progress pelaksanaannya, minimal dalam hal kesiapan. Penting untuk melakukan assessment tentang persia­pan pendidikan inklusi di Kabupaten Bantaeng. Kesiapan suatu daerah dalam melaksanakan pendidikan inklusi akan tergantung pada kondisi sekolah, yang meliputi sarana dan prasarana, sumber daya guru dan manajemen sekolah, serta kurikulum dan perangkat pembelajaran lainnya. Selain itu, dibutuhkan pula dukungan masyarakat, komitmen pemerintah dan faktor-faktor lain yang meliputi lingkungan fisik dan sosial.

A.   Metode dan Lokasi As­sessment

Assessment ini dilaksanakan pada bulan Maret–April 2016. Data untuk assessment ini diperoleh melalui obser­vasi lapangan, Focus Group Discussion (FGD) dan Wawancara Informan Kunci (WIK). Observasi dilakukan dengan durasi 6 hari untuk tiap seko­lah yang di-assessment. Selanjutnya, dilakukan FGD di dua sekolah yang ditetapkan setelah observasi. FGD di­bagi dalam 5 kelompok, yakni kelom­pok guru, manajemen sekolah, siswa difabel, siswa non-difabel dan orang tua siswa (difabel dan non-difabel). Beberapa peserta FGD untuk masing-masing kelompok, kemudian dipilih menjadi infoman kunci, yang selan­jutnya diwawancara secara mendalam. Wawancara mendalam juga dilakukan pada dinas-dinas yang terkait langsung dengan penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Bantaeng.
Adapun sekolah yang ditetapkan untuk di-assessment adalah: 1) SD Ne­geri 59 Labbo; 2) SD Inpres Tappan­jeng; 3) SD Negeri 40 Lumpangang; 4) SD Inpres Borong Tarampang; 5) SD Inpres Sarrea; 6) SMP Ne­geri 1 Tompobulu; 7) SMP Negeri 1 Pa’jukkukang; 8) SMP Negeri 2 Bissappu; 9) MTS Muhammadiyah Bantaeng; 10) SMP Negeri 1 Banta­eng. Wilayah Kabupaten Bantaeng terdiri dari dataran rendah yang me­manjang mengikuti garis pantai dan dataran tinggi yang merupakan bagian dari Pegunungan Karaeng Lompoa. Empat sekolah di atas merupakan se­kolah yang berada di wilayah dataran tinggi. Beberapa sekolah di atas juga merupakan sekolah unggulan atau sekolah percontohan yang ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Bantaeng.

B.   Situasi dan Kondisi Se­kolah dalam Kaitan Isu Difabel

Kesiapan sekolah dalam melaksa­nakan pendidikan inklusi dilihat dari kondisi sarana dan prasana, kesia­pan guru dan perangkat pembelajaran.

1)    Kondisi Sarana dan Prasarana

Kondisi sarana dan prasarana yang penting untuk dinilai dalam kaitannya dengan pelaksanaan pen­didikan inklusi adalah; apakah sarana dan prasarana yang ada aksesibel untuk berbagai jenis difabel? Sekolah di Bantaeng berada pada dua kondisi geografis yang berbeda, yakni dataran tinggi dan dataran rendah.Sekolah yang berada pada dataran tinggi me­miliki kontur yang sedikit tidak rata, sedangkan yang berada pada dataran rendah memiliki kontur yang sangat rata.Namun bukan berarti sekolah-sekolah yang berada pada dataran tinggi tidak bisa dibuat menjadi rata, itu terlihat pada bangunan SD Negeri 59 Labbo yang sangat rata, meskipun berada pada dataran tinggi.Kondisi sekolah yang tidak rata merupakan satu masalah untuk aksesibilitas bagi siswa difabel tertentu, misalnya peng­guna kursi roda, kaki palsu, tongkat, siswa tuna netra dan lain-lain.
Penataan bangunan sekolah di Kabupaten Bantaeng umumnya be­lum memperhatikan aksesibilitas bagi siswa difabel.Jalan penghubung antar bangunan yang tidak rata, berlobang dan bertingkat-tingkat, serta sarana lain yang tidak dilengkapi alat bantu, tentunya tidak aksesibel bagi siswa difabel jenis tertentu.Kondisi tersebut terjadi di hampir semua sekolah di Kabupaten Bantaeng.MTS Muhammadiyah, misalnya, sebagai salah satu sekolah unggulan, struktur bangunannya ber­tingkat serta tidak dilengkapi dengan alat bantu, yang dengan demikian sangat mustahil bisa diakses oleh siswa yang memiliki kendala dalam berjalan dan melihat.Sedangkan di SD Inpres Sarrea, WC dengan kloset duduk yang seharusnya sangat membantu bagi siswa difabel, justru dialihfung­sikan menjadi gudang penyimpanan barang.Klosetnya sendiri dijadikan meja untuk menyimpan kertas-kertas bekas.Selain itu, masih banyak contoh yang lain.
Sekolah-sekolah di Kabupaten Bantaeng juga belum memiliki alat bantu untuk siswa dengan jenis difabel tertentu, misalnya alat bantu membaca tuna netra (braile), alat bantu tuna run­gu, kursi roda, kursi khusus siswa lum­puh/layu dan alat bantu lainnya.Hal tersebut diperparah dengan kenyataan bahwa anggaran setiap sekolah belum ada satupun yang dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan siswa difabel atau dalam hal persiapan pelaksanaan pendidikan inklusi (Dokumen laporan penggunaan dana BOS Sekolah: 2016)


2)   Kesiapan Guru

Sekolah ekslusif seperti sekolah luar biasa masih dipan­dang sebagai tempat yang tepat bagi anak difabel.Jikapun kemudian mesti menerima siswa difabel, maka di setiap sekolah mesti disiapkan guru khusus untuk menanganinya atau paling tidak guru yang ada sekarang diberikan pelatihan khusus untuk menangani siswa difabel.Pandang­an demikian menjadikan guru-guru tidak memiliki motivasi dan inisiatif untuk meningkatkan kemampuan agar mampu menangani siswa berkebutu­han khusus.Hampir seluruh guru di sekolah yang di-assesment menyatakan ketidaksanggupan dalam menangani siswa difabel.Upaya maksimum yang dilakukan adalah memberikan motivasi pada siswa agar siswa yang teridentifikasi berbeda dari siswa pada umumnya tetap termotivasi untuk sekolah.
Bukti ketidaksanggupan dan tidak adanya inisiatif guru dalam menanga­ni siswa difabel terlihat pada perlakuan yang diterima oleh Inayah, siswa kelas 5 di SD 40 Lumpangan, yang mesti diberikan tugas-tugas yang tidak ada kaitannya dengan proses belajarnya, misalnya cuci piring, menyapu dan membersihkan dapur, karena diang­gap tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan di kelas.Inayah adalah seorang anak dis­leksia, yang seharusnya mendapatkan penanganan khusus.Penting untuk diketahui bahwa banyak metode dan media yang bisa digunakan untuk me­nyelesaikan masalah disleksia.
Guru seharusnya menjunjung tinggi prinsip dan keyakinan bahwa betapapun naïf dan bodohnya anak, dia dapat berkembang dan berubah.Meskipun terdapat perbedaan nyata dalam hal kecerdasan, sesungguhnya semua orang mempunyai susunan otak yang sama.Ini berarti setiap orang memiliki potensi otak yang relatif sama dan memiliki peluang yang sama untuk berkembang, yang terpenting adalah bagaimana otak tersebut diolah dan dikembangkan.Untuk menjadi pendidik yang baik, yang diperlukan di atas segalanya adalah keyakinan yang tinggi kepada manusia.Tanpa manusia maka dunia pun tidak ada (Freire: 2008).
Guru sebagai pendidik profesional diidealkan mampu menjadi agen pem­belajaran yang edukatif, yaitu dapat menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa dan inspirator pembela­jaran (E.Mulyasa: 2007).Sebagai perekayasa pembelajaran, guru harus: 1) Mampu merancang, mengembang­kan, melaksanakan, mengevaluasi dan menyempurnakan kegiatan pembela­jaran sesuai kebutuhan peserta didik dan masyarakat; 2) Memandang ke­giatan pembelajaran sebagai kegiatan yang dinamis dan inovatif, yang perlu dikembangkan dan dimutakhirkan secara terus menerus sesuai kebutuhan peserta didik.Prinsip yang perlu dite­kankan adalah problem yang dihadapi oleh siswa difabel tertentu bukanlah problem yang berlangsung secara in­dividu, namun tidak terpisahkan dari lingkungannya, khususnya lingkungan sekolah.Dapat dikatakan juga bahwa problem tersebut adalah problem bersama yang juga harus diselesaikan secara bersama-sama.
Dengan demikian, guru seha­rusnya melakukan inovasi untuk menemukan metode dan bahan pem­belajaran yang mampu menyelesaikan problem yang dihadapi oleh siswa difabel tertentu.Tentunya, inovasi tersebut harus diupayakan secara bersama-sama oleh guru bersama siswa bersangkutan dan juga dengan siswa lain.Peran siswa lain dalam hal ini juga memiliki kedudukan penting.Sebagai teman bermain, curhat dan lain sebagainya, tentu saja mereka juga memahami problemnya.Sebagai contoh, peran yang dilakukan oleh Nurul, siswa kelas 5 SD Negeri 59 Labbo, yang mampu membantu Mis­ra (sahabatnya) untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis, meskipun peningkatannya belum signifikan.

3)   Kurikulum dan Perangkat Pembelajaran Lainnya

Salah satu perangkat pembe­lajaran yang paling penting untuk memastikan terpenuhinya hak-hak difabel dalam proses pembelajaran adalah kurikulum.Sekolah-sekolah di Kabupaten Bantaeng umumnya meng­gunakan kurikulum 2013 dan KTSP.Pada kurikulum tersebut pemenuhan hak-hak difabel tidak termaktub secara tegas dalam poin-poin pokok yang menjadi target capaian pembelajaran.Mungkin atas dasar itu pelaksanaan pembelajaran di sekolah-sekolah di Kabupaten Bantaeng masih mengabai­kan hak-hak siswa difabel.Meskipun sesungguhnya kurikulum tersebut mengharuskan pemenuhan hak-hak dan peningkatan potensi siswa tanpa terkecuali, yang berarti hak-hak siswa difabel juga wajib dipenuhi dalam proses pembelajaran.
Perangkat pembelajaran lainnya belum mengakomodasi kepentingan siswa difabel.Penyusunan kurikulum dan perangkat pembelajaran lainnya tidak berdasarkan pada kebu­tuhan siswa.Penyusunannya mutlak berdasarkan pada pandangan guru atau guru menjadi subjek sepenuhnya dan siswa menjadi objek sepenuhnya.Kekeliruan terbesarnya adalah semua berdasar pada pandangan subjektif yang menganggap semua siswa sama dalam hal kondisi, kebutuhan, kein­ginan, kecenderungan dan lain-lain. Pembelajaran masih bertumpu pada RPP, sementara RPI masih asing di kalangan guru. Tentunya, fakta-fakta tersebut menjadikan hak-hak siswa difabel sudah pasti tidak terakomodasi.Praktek tersebut meru­pakan wujud pendidikan yang anti-realitas.Kurikulum dibuat murni oleh mereka yang menganggap dirinya ahli tanpa mempertimbangkan pluralitas kehidupan murid.Realitas dianggap sama dimana dan kapan saja.Proses demikian jelas tidak demokratis dan tidak akomodatif (M.Agus Nuryatno: 2011).
Siswa difabel pastinya berkebutu­han khusus, sementara perangkat pem­belajarannya bersifat umum.Maka, tidak aneh ketika banyak masalah sis­wa yang tidak terselesaikan, misalnya masalah yang dihadapi Inayah, atau Arwin, siswa kelas 2 SMP Negeri 2 Bissappu, yang semangat sekolahnya tinggi, namun minat belajarnya saat di kelas rendah, dan masih banyak kasus-kasus yang lain.

C.   Persepsi Terhadap Pendidikan Inklusi

Bagi sebagaian besar guru dan manajemen sekolah di Kabupaten Bantaeng, istilah pendidikan inklusi masih asing.Hanya sebagian kecil yang mengetahuinya, itupun masih jauh dari pengetahuan komprehensif. Hal tersebut terungkap dari FGD guru dan manajemen sekolah yang di-assessment, pada tanggal 11-26 April 2016.Penanganan anak difabel masih dipandang sebagai tanggung jawab sekolah luar biasa.Hal tersebut juga berlaku di masyarakat, pilihan untuk menangani anak difabel adalah deng­an memasukkan ke sekolah luar biasa.

1)    Persepsi Sekolah

Pada sebagian kalangan, isu di­fabel masih dilihat dengan meng­gunakan perspektif segregatif, yaitu cara pandang yang melihat bahwa pelaksanaan sebuah sistem, khususnya pendidikan, haruslah merujuk pada kepentingan siswa normal.Dengan kata lain, mendudukkan kepentingan anak difabel sebagai sebuah hal yang bukan prioritas untuk ditangani.Cara pandang segregatif membeda­kan status sosial antara yang normal dengan tidak normal, atau lebih ke perspektif medis.Sehingga kehidup­an dikonstruksi oleh orang normal dan memprioritaskan kepentingan mereka.Kelompok yang dianggap tidak normal pada akhirnya tidak bisa menghindari kedudukannya se­bagai subordinat dalam ruang-ruang kehidupan.Maka, kelompok difabel menjadi sulit mengakses ruang publik karena memang dikonstuksi dengan tidak memperhatikan kepentingannya.
Di kalangan guru dan manajemen sekolah di Kabupaten Banteang, ma­sih berlaku prinsip bahwa penanganan siswa normal mesti diprioritaskan.“Penanganan siswa normal saja masih jauh dari capaian maksimal, bagaimana mungkin kita bisa menangani yang tidak normal”.Begitulah komentar para guru dan manajemen sekolah.Persepsi yang berlaku sejauh ini adalah tempat yang tepat untuk menangani siswa berkebutuhan khusus adalah sekolah luar biasa.Sehingga keberadaan sis­wa berkebutuhan khusus dipandang sebagai masalah yang sulit atau bah­kan tidak bisa ditangani.Sebagian sekolah malah tidak berani menerima siswa berkebutuhan khusus karena tidak tersedianya resource dan metode penanganan.Pandangan demikian merupakan bentuk ketidakadilan, sementara salah satu tujuan pendi­dikan adalah mewujudkan keadilan.Keadilan dalam proses pendidikan akan mendorong pertumbuhan menu­ju aktualisasi diri, integrasi dan/ atau conscientazao, sebaliknya ketidakadilan akan menghambat pertumbuhan (A.Smith: 2008).
Meskipun beberapa sekolah tetap menerima siswa berkebutuhan khusus, namun lebih pada aspek kemanusiaan atau rasa iba, bukan karena kesedi­aan atau kesanggupan melakukan penanganan khusus.Sehingga pada perkembangannya, siswa tersebut malah menjadi masalah yang tidak ter­selesaikan yang membebani sekolah.Misalnya yang terjadi pada Inayah di SD 40 Lumpangang yang sampai kelas 5 belum mampu membaca dan menulis dengan baik.Bukannya penanganan khusus yang diberikan, sebaliknya dia disembunyikan untuk menghindari pengawasan karena ketakutan akan dijadikan indikator kegagalan oleh pengawas sekolah.Di luar itu, masih banyak bentuk-bentuk diskriminasi lain yang diterimanya.
Masalah yang hampir sama terjadi pada Misra, siswa kelas 5 SD Negeri 59 Labbo, yang belum mampu menulis dan membaca dengan baik.Sejauh ini, dia tidak mendapatkan penanganan khusus, sebaliknya pihak sekolah ke­bingungan untuk membuat keputusan apakah meluluskan dia dari sekolah dengan kondisi demikian, ataukah menahannya dengan usia yang tidak lagi wajar berada di sekolah dasar.Masalah lain yang terjadi adalah ben­tuk celaan atau bullying dari siswa lain terhadap siswa difabel.Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya upaya penyadaran dari pihak sekolah terkait dengan kedudukan siswa difabel dan bagaimana seharusnya memperlaku­kannya.Dan masih banyak masalah lain yang terjadi di sekolah-sekolah di Kabupaten Bantaeng.
Sejauh ini, metode yang digu­nakan oleh beberapa guru adalah dengan memberikan perlakuan yang sama antara siswa difabel dengan siswa non-difabel.Metode tersebut cukup berhasil dalam menjaga spirit siswa di sekolah, sehingga bisa dika­takan sebuah langkah maju.Namun tentunya metode tersebut harus diting­katkan pada bentuk penanganan yang lebih maju karena masalahnya bukan hanya menyangkut spirit tapi yang lebih pokok adalah penyelesaian masalah khusus yang dihadapi.
Pendidikan inklusi, dalam pan­dangan sekolah, masih dianggap sesuatu yang sulit dilaksanakan.Dalam pelaksanaannya, hal paling mendasar yang mesti terpenuhi ada­lah keberadaan guru-guru khusus di sekolah-sekolah karena guru yang ada saat ini tidak akan mampu menangani siswa difabel, ditambah lagi dengan tidak tersedianya fasilitas penunjang.Seperti itulah pandangan sekolah-sekolah di Kabupaten Bantaeng.Secara umum, persepsi mereka ter­kait dengan pelaksanaan pendidikan inklusi adalah dengan memperbanyak sekolah-sekolah khusus (sekolah luar biasa), resolusi tersebut dipandang sebagai jalan keluar yang paling tepat untuk anak difabel.

2)   Persepsi Masyarakat

Sama seperti pandangan sekolah, di masyarakat Kabupaten Bantaeng masalah difabel masih dipandang dengan perspektif yang segregatif.Anak difabel dianggap sebagai anak yang tidak normal.Anak difabel dianggap tidak memiliki masa depan yang lebih baik.Bahkan yang pa­ling parah, keberadaan anak difabel dianggap sebagai bentuk kesialan dan diposisikan layaknya aib bagi keluarga dalam kehidupan bermasyarakat.Ke­beradaan anak difabel membawa rasa malu dalam keluarga.Hal tersebut tidak terlepas dari persepsi masyarakat secara luas.
Dalam hal pendidikan, sebagian besar orang tua anak difabel meng­anggap pendidikan bagi anak difabel tidaklah terlalu penting, karena tidak adanya harapan masa depan yang lebih baik.Hanya keinginan kuat dari sang anaklah yang memaksa orang tua untuk tetap menyekolahkannya.Pada situasi tersebut, orang tua anak difabel diperhadapkan pada dilema.Di satu sisi, menyekolahkan anak di SLB sulit karena hanya terdapat satu sekolah di Kabupaten Bantaeng yang terletak di pusat kota, sehingga sulit dijangkau masyarakat secara luas.Pi­lihan tersebut juga akan menegaskan pandangan masyarakat bahwa anak tersebut tidak normal.
Di sisi lain, menyekolahkan anak di sekolah umum tidak bisa membe­rikan perubahan yang signifikan bagi anak difabel, karena minimnya bentuk penanganan khusus yang bisa diberi­kan di sekolah umum.Situasi tersebut menjadikan sebagian besar orang tua anak difabel menyekolahkan anak hanya untuk tujuan menyenangkan sang anak, tidakada harapan peru­bahan.Hal tersebut berdampak pada minimnya partisipasi orang tua dalam mengawal sang anak di sekolah.Apapun kenyataan yang dihadapi atau didapatkan sang anak di sekolah dianggap sebagai hal yang biasa.
Secara umum, masyarakat Kabupaten Bantaeng belum memiliki pengetahuan tentang pendidikan inklusi.Hal tersebut me­mang masih sangat asing mengingat belum adanya upaya sosialiasi atau propaganda yang dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi yang bergerak pada advokasi isu-isu difabel dan pendidikan inklusi.Namun penje­lasan sederhana yang dilakukan oleh Tim Assessment mampu memberikan sedikit harapan terkait dengan jalan keluar atas masalah anak difabel.
Melihat isu difabel dengan cara pandang segregatif adalah pandangan yang tidak manusiawi. Jalan keluar bagi anak difabel adalah keadilan sosial dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari.“It is about to be a part of society, not to to be apart from society” (Wills: 2000).Proses yang disebut dengan humanisasi, yang dalam pengertian Paulo Freire bukanlah pencarian ke­bebasan individu.Tujuan humanisasi adalah tujuan sosial, dan kebutuhan manusia menjadi makhluk bagi di­rinya sendiri tercapai saat masyarakat mampu menjadi sesuatu untuk dirinya sendiri.Manusia sebagai individual tidak mengetahui dan tidak bereksis­tensi di luar masyarakat.Persahabatan dan solidaritas merupakan tugas dan nilai terpenting bagi umat manusia (Collins: 2011).

D.   Kebijakan dan Program Pemerintah Kabupaten Bantaeng untuk Isu Di­fabel

Pembangunan suatu daerah seha­rusnya diarahkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakatnya tanpa diskriminasi.Kabupaten Bantaeng adalah salah satu kabupaten di Su­lawesi Selatan yang memiliki begitu banyak program pembangunan dan mendapatkan pengakuan luas dalam kurun 6-7 tahun terakhir.Namun, dalam hal pemenuhan kebutuhan kelompok difabel, program dan ke­bijakan dari Pemerintah Kabupaten Bantaeng masih tergolong minim.Sampai saat ini, program yang paling nampak adalah program peng­embangan ruang publik ramah penyandang disabilitas yang diprogramkan oleh Dinas Sosial.Realisasi program tersebut sejauh ini adalah pengembangan objek wisata Pantai Seruni yang aksesibel bagi penyandang disabilitas.Selain program tersebut belum ada program ataupun kebijakan yang lain.
Dalam hal pendidikan, landasan untuk melaksanakan pendidikan inklusi di Kabupaten Bantaeng hanya Peraturan Gubernur (Pergub) Sula­wesi Selatan No.11 tahun 2013 yang mewajibkan pelaksanaan pendidikan inklusi.Namun, belum ada tindak lan­jut dari Pergub tersebut dalam bentuk peraturan daerah (perda), peraturan bupati (perbup), apalagi dalam bentuk program.Adapun keberadaan UU No.8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, belum banyak diketahui oleh pihak-pihak yang terkait lang­sung dengan isu difabel di pemerin­tahan Kabupaten Bantaeng.Sejauh ini, bentuk kemajuan dalam upaya pelaksanaan pendidikan inklusi di Kabupaten Bantaeng baru sebatas ko­mitmen dari dinas-dinas yang terkait langung dengan isu difabel, termasuk pihak Bappeda, untuk bersama-sama mendorong pelaksanaan pendidikan inklusi di Kabupaten Bantaeng.

E.    Kesiapan Kabupaten Bantaeng untuk Pe­laksanaan Pendidikan Inklusi

Mengukur kesiapan suatu daerah dalam melaksanakan pendidikan inklusi akan dilihat dari kesiapan lingkungan fisik dan sosial.Penilaian terkait dengan lingkungan fisik, ada­lah: 1) Kondisi sarana dan prasarana belum aksesibel bagi berbagai jenis siswa difabel; 2) Sumber daya guru dan manajemen sekolah belum memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus untuk menangani siswa difabel, yang diperparah dengan belum adanya mo­tivasi, serta inisiatif untuk mengem­bangkan metode dan media yang bisa digunakan untuk menangani siswa difabel; 3) Dari segi anggaran, sam­pai saat ini, baik di sekolah-sekolah maupun di dinas-dinas terkait belum ada alokasi anggaran dalam rangka persiapan pelaksanaan pendidikan inklusi.Di Pemkab Bantaeng sendiri belum ada alokasi anggaran yang spesifik untuk mewujudkan pendi­dikan inklusi.Hanya pihak Bappeda yang telah berinisiatif memberikan anggaran untuk pelaksanaan beberapa program, misalnya program assessment persiapan pendidikan inklusi, sensus difabel dan workshop penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Sedangkan dari aspek sosial, adalah: 1) Secara umum, guru dan manajemen sekolah berpandangan bahwa bentuk pelaksanaan pendidik­an inklusi adalah dengan memper­banyak sekolah luar biasa, ataukah dengan menyiapkan guru khusus di setiap sekolah, dan yang paling mi­nimum adalah dengan memberikan pendidikan khusus atau pelatihan bagi guru dan manajemen sekolah dalam hal penanganan siswa difabel; 2) Masyarakat Bantaeng belum bisa memberikan pandangan yang lebih maju karena minimnya pengetahuan tentang pendidikan inklusi.Hanya sebagian kecil masyarakat yang telah mendapatkan penjelasan lebih luas tentang pendidikan inklusi dari Aksara Institute, yang menganggap pendidikan inklusi adalah sebuah jalan keluar yang baik untuk mengatasi ma­salah pendidikan yang dihadapi oleh kelompok difabel; 3) Secara normatif, persepsi Pemkab Bantaeng terhadap pendidikan inklusi sangat baik, namun belum ada upaya konkrit yang dilaku­kan dalam rangka pelaksanaan pendi­dikan inklusi.Langkah termaju yang ada baru sebatas komitmen untuk merealisasikan pendidikan inklusi di Kabupaten Bantaeng.
Melihat kondisi di atas, maka Kabupaten Bantaeng masih jauh dari siap untuk melaksanakan pendidikan inklusi.Poin positif yang ada baru sebatas komitmen dari pihak yang bertanggungjawab langsung terhadap pelaksanaan pendidikan.Komit­men itupun masih tergolong lemah, mengingat komitmen tersebut lebih karena adanya beberapa peraturan yang telah diketahui secara luas, serta fakta bahwa isu difabel sedang naik ke permukaan.Komitmen tersebut bukan karena adanya kesadaran tentang keharusan untuk mewujudkan pendi­dikan yang tidak diskriminatif.
Teori-teori pendidikan yang bersi­fat eksklusi masih menjadi dasar teori atau paradigma yang digunakan oleh keumuman penyelenggara pendidikan di Indonesia hingga saat ini, termasuk di Kabupaten Bantaeng sendiri.Cara pandang yang segregatif masih men­dominasi para penyelenggara pendi­dikan dan pihak-pihak terkait lainnya.Adanya perbedaan atau kebutuhan khusus bagi siswa difabel dianggap akan memperlambat kemajuan siswa normal.Pemenuhan kebutuhan siswa difabel membutuhkan anggaran yang besar atau dengan kata lain pendidik­an inklusi dianggap mahal.Sehingga pelaksanaan pendidikan di Kabupaten Bantaeng masih mendudukkan pe­menuhan kebutuhan siswa non-difabel sebagai prioritas, setelah itu barulah pemenuhan kebutuhan siswa difabel bisa dilakukan.Cara pandang terse­but tentunya mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan, baik dari aspek psikologis maupun sosiologis.Cara pandang tersebut sangatlah diskriminatif dan melukai kelompok-kelompok tertentu yang juga berhak atas pendidikan.
Pandangan demikian merupakan dampak dari lenyapnya ciri kemanu­siaan yang disebabkan oleh dominasi kapitalisme modern yang meng­ubah mayoritas manusia menjadi tergantung, ditindas, dijadikan sebagai mesin ekonomi dan teralienasi dari kehidupannya.Alienasi tak hanya berlaku di bidang pekerjaan tetapi berlaku pula di bidang politik, kultur, pendidikan, kesenian, konsumsi, keluarga dan bidang lain, atau di seluruh ruang kehidupan (Sztompka: 2011).Di bidang pendidikan, kaum difabel dianggap tidak memiliki hari depan, tidak produktif dan tidak akan memberikan banyak kontribusi bagi keberlangsungan kehidupan yang dikonstruksi oleh sistem kapitalisme monopoli.Sehingga kaum difabel tidak lagi dapat berpartisipasi dengan baik dalam proses pembelajaran, tidak lagi mampu bersosialisasi dengan baik atau terisolasi dari lingkungan sekolah dan masyarakat, terasing dari orang lain dan kawan-kawannya, bahkan dimusuhi dan memusuhi orang lain.Alienasi berarti kehilangan dorongan hati untuk bergaul, kehilangan kreati­vitas, kehilangan harapan dan kehilan­gan kontrol terhadap tindakan, atau singkatnya, menghancurkan “potensi kemanusiaan”.
Setidaknya ada 3 hal yang terabai­kan dari cara pandang demikian, yakni fakta bahwa: 1) Ketika suatu sekolah aksesibel bagi kelompok difa­bel, maka sekolah tersebut sudah pasti aksesibel bagi siswa non-difabel; 2) Ke­tika sekolah mampu menangani siswa difabel, maka siswa non-difabel akan jauh lebih mampu ditangani, atau kemajuannya akan jauh lebih besar di­banding dengan apa yang didapatkan saat ini; 3) Ketika siswa non-difabel mampu membangun hubungan yang baik dengan siswa difabel, maka itu akan menjadi tolak ukur bahwa siswa tersebut akan mampu hidup di masyarakat yang beragam, atau mampu mendekatkan diri pada realitas kehidupannya.
Kenyataan yang ada menunjuk­kan bahwa penyelenggaraan pendidik­an di Kabupaten Bantaeng masih jauh dari prinsip dasar pendidikan inklusi, yakni: Pertama, setiap orang secara inheren punya hak terhadap pendidik­an atas dasar kesamaan kesempatan; Kedua, tidak boleh ada peserta didik yang terekslusi dan terdiskriminasi dalam pendidikan dengan alasan apa­pun, apakah ras, warna kulit, gender, bahasa, agama, politik, difabilitas dan lain-lain; Ketiga, semua anak pada dasarnya dapat belajar dan mendapat manfaat dari pendidikan; Keempat, sekolah merupakan pihak yang bertanggungjawab untuk menyediakan kebutuhan peserta didiknya, bukannya peserta didik yang harus mengadaptasi kebutuhan sekolah; Kelima, pandang­an, opini dan pendapat peserta didik harus didengar dan diperhatikan; Kee­nam, perbedaan-perbedaan individual diantara peserta didik adalah sumber kekayaan dan keragaman, bukannya sebuah masalah; Ketujuh, dasar pen­didikan inklusif bukanlah asimilasi, tapi apresiasi atas perbedaan (M.Agus Nuryatno: 2011).
Meski demikian, Pemkab Ban­taeng telah berkomitmen untuk me­laksanakan pendidikan inklusi sesuai dengan amanah Pergub No.11 tahun 2013.Sebagai catatan, UU No.8 ta­hun 2016 belum banyak didiskusikan di Kabupaten Banteng ka­rena belum tersosialisasi secara luas.Meskipun masih sebatas komitmen, namun itu satu langkah maju yang penting untuk ditindaklanjuti oleh ber­bagai pihak yang mendorong realisasi pendidikan inklusi.

F.    Kesimpulan

Pendidikan inklusi merupakan wujud pendidikan yang humanis, sebagai bentuk perlawanan atas sis­tem pendidikan yang selama ini terus mengeksklusi kelompok-kelompok tertentu, utamanya kaum difabel.Pro­ses mengeksklusi tersebut merupakan bentuk dehumanisasi.Dehumanisasi, oleh Paulo Freire, dikatakan sebagai bentuk nyata dari proses alienasi dan dominasi (Freire: 2007).Penyataan tersebut sejalan dengan kenyataan yang dihadapi oleh kaum difabel di dunia pendidikan.Kaum difabel terus teralienasi dari dunia pendidikan yang dikonstruksi oleh kelompok non-difabel.
Memperjuangkan pendidikan inklusi adalah jalan terang untuk mewujudkan hak-hak kelompok yang selama ini tereksklusi di dunia pendidikan, utamanya kaum difabel.Mewujudkan pendidikan inklusi tidaklah mudah, dibutuhkan kesadar­an penuh dari berbagai pihak, baik penyelenggara pendidikan dan pihak terkait lainnya maupun masyarakat secara luas.Kabupaten Bantaeng telah berkomitmen untuk mewujudkannya, komitmen tersebut adalah titik tolak untuk langkah maju selanjutnya, namun komitmen tersebut tidak akan berarti apa-apa tanpa upaya konkrit untuk mewujudkannya. Assessment ini menyimpulkan, bahwa sejauh ini belum ada langkah konkrit untuk mewujudkan pendidik­an inklusi di Kabupaten Bantaeng.Oleh karenanya, disarankan kepada seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di Kabu­paten Bantaeng agar mulai melakukan upaya konkrit untuk mewujudkan pendidikan inklusi.


Daftar Pustaka
Buku, Jurnal, Penelitian, dan Ma­jalah
Budiman, Hikmat (2012).Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Collins, Dennis (2011).Paulo Freire; Kehidupan, Karya & Pemikirannya. Penerjemah: Henry Heyneardhi & Anastasia P.Yogyakarta: Ko­munitas Apiru Bekerjasan dengan Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo (2008).Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
--------, ----- (2008).Pendidikan Sebagai Proses; Surat Menyurat Pedagogis dengan Para Pendidik Guinea-Bissau. Penerjemah: Agung Prihantoro.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
--------, ----- (2007).Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembe­basan. Penerjemah: Agung Prihan­toro & Fuad Arif Fudiyartanto.Yogyakarta: REaD (Research, Education dan Dialogue) & Pus­taka Pelajar.
Mulyasa, M (2007).Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Rosdakarya.
Nuryatno, M.Agus (2011).Mazhab Pendidikan Kritis; Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Ke­kuasaan. Yogyakarta: Resist Book.
Smith, William A (2008).Conscientiza­cao; Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Penerjemah: Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sztompka, Piotr (2011).Sosiologi Per­ubahan Sosial. Penerjemah: Ali­mandan.Jakarta: Prenada Media Group.

Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2016 tentang Pe­nyandang Disabilitas.

Tidak ada komentar:
Write komentar